Selasa, 11 September 2018

cerita pendek - senja

Cerpen-Senja

Hari yang melelahkan. Menjalani hidup tanpa gairah sama sekali. Setidaknya itulah yang kurasakan hari ini, bahkan tak hanya hari ini tapi setiap hari. Yang lebih menjengkelkan lagi aku harus pulang saat senja. Dan itulah yang paling kubenci. Ya, aku benci senja.Senja selalu mengingatkanku akan kelamnya masa laluku. Tepatnya sepuluh tahun yang lalu, saat aku berusia 7 tahun. Senja itu, Aku pergi bersama keluargaku ke puncak. Kami sangat menikmati pemandangan di sepanjang jalan. Ngobrol, bersenda gurau, dan semuanya terasa begitu menyenangkan, hingga membuat ayahku tak fokus pada jalanan dan hilang kendali. Mobil yang kami naiki pun menabrak sebuah pohon besar di tepi jalan. Aku sungguh terkejut. Tanpa memikirkan kedua orangtuaku, aku meloncat keluar dari mobil. Karena saat itu aku berpikir bahwa mobil ini akan meledak seperti di film-film. Ternyata benar, selang beberapa menit mobilku meledak. “Duarrr!!!”. Semuanya terlihat gelap, sangat gelap. Yang terlihat hanyalah warna hitam.Saat terbangun, aku sudah berada di suatu tempat. Serba putih, ya, sangat putih. Aku benci ini. Aku tak mampu bergerak. Barang selangkah saja untuk memeluk ayah dan ibu yang telah tertutup kain putih. Aku ingin memeluk mereka untuk yang terakhir kali. Mengucapkan selamat jalan dan penyesalan karena tak mampu menyelamatkan mereka. Aku benci, mengapa aku tidak pergi saja bersama mereka. Ke tempat yang lebih tenang, supaya aku tak lagi menjalani hidup yang membosankan ini. Dan harus bertemu dengan sang senja yang begitu jahat, karena telah menelan semua harapanku saat itu juga.“Ngapain lu di sini! Flashback masa lalu, ya?” katanya sembari mengernyitkan dahinya. Aku hanya terdiam. Percuma saja menanggapi omongan orang sepertinya, tak akan ada habis-habisnya. “Eh, ditanya malah diem, gak bisa denger, lu, apa suara gue kurang keras?” tanyanya lagi dengan bahasanya yang super santai. “Lu bisa diem gak? Bawel banget sih jadi cowok!” jawabku kesal. “Yee.. Gitu aja marah, cepet tua lu nanti.” jawabnya lagi. Lalu, dia mengikutiku duduk di bangku silver Taman kota Bandung ini. Aku sengaja menghabiskan waktu senjaku di sini, melihat sang malam melahap terangnya siang. Selalu bersama dia, nama yang begitu kubenci, Senja.Lamunanku terpecahkan oleh suara itu. Ya, suaranya begitu lantang namun tenang. Dan aku mengenal suara itu, suara itu adalah miliknya. Semenjak pindah ke Bandung 10 tahun yang lalu, lelaki ini selalu saja mengikutiku, ke manapun itu. Bahkan, sore ini dia kembali mengusik ketenanganku, seperti biasanya.“Lu ngapain sih, selalu ngelamun di sini, pake nangis lagi? Kayak orang gila tau, lu!” katanya penuh empati. Aku tak begitu menggubrisnya, masih menatap mentari yang hampir tenggelam menyisakan semburat jingganya. “Jingga, lu diem aja sih dari tadi!” bentaknya tiba-tiba. Aku terkejut. “Senja, lu ngagetin aja sih!”. “Bengong aja sih!, Lu mikirin apa sih?” tanyanya penasaran. Aku diam sejenak. “Hmm, hidup itu nggak adil ya Nja” kataku sembari menatap cakrawala yang seolah tengah menertawai nasibku. “Hushhh! Ngomong apa, lu. Jingga, ingat ya, di luar sana masih banyak yang nasibnya jauh lebih buruk dari, lu. Jadi, jangan ngeluh aja, dong!” katanya yang jauh lebih bijak dari biasanya. Aku menatap bola matanya yang sendu, menyiratkan ketulusan dalam hatinya.Aku beranjak dari bangku itu, meninggalkan Senja sendirian. Berjalan tanpa menghiraukan jalanan. Entah mengapa, hari ini aku begitu lelah. “Jingga…!!!” teriak Senja dari belakang, membuyarkan lamunanku. “Awas …!!!” teriaknya lagi. Aku melihat ke depan. “Aaaaa…” teriakku histeris. “Bruak!!!”. Kepalaku terbentur pada pembatas jalan.Aku terpejam. Dan, Senja. Di mana dia? Aku berusaha membuka mataku, menahan nyeri yang sangat di kepala. “Senja” gumamku dalam hati saat melihatnya terkapar di jalanan. Aku dengan tertatih berusaha mendekatinya yang tengah dikerumuni banyak orang. “Senja, lu…” kataku yang menatapnya khawatir. “Hehehe, gue baik-baik aja kok! Lu tenang aja” katanya tertawa sembari menahan rasa sakit. Tuhan, dia begitu tegar, dalam keadaan sekarat saja dia masih mampu tertawa. Dia menatapku “Jingga, Tuhan itu yang paling adil sama kita, lu harus yakin itu. Jangan terus-terusan meratapi masa lalu. Lu harus bangkit, Jingga.” katanya sebelum matanya terpejam untuk selamanya.Aku termenung, terisak dalam diamku. Lagi-lagi aku kehilangan orang yang kusayangi. Jika dulu aku sangat membenci senja, kini aku sangat mencintai Senja.